Senin, 31 Januari 2011

Bening Embun dan Hangatnya Pagi


Pagi yang bening. Ketika gerombolan burung-burung baru akan memulai tasbinhya. Saat dedaunan akan mengakhiri tetes embun di ujung kuncupnya. Dan ketika sebagian dari mereka masih setia dengan selimut panjangnya. Kembali menggulung badan dan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Sedangkan matahari telah beranjak tinggi. Memanggang bumi. Melanjutkan titah Tuhannya. Membagi cinta pada maya pada.

Sejenak, kawan. Duduklah di sini. Kita nikmati alunan pagi. Bersama setangkup syukur dan cinta yang kita bagi.

Sebentar, teman. Bergabunglah kemari. Mari kita lupakan dunia. Sekedar bercakap-cakap. Tak usah yang berat-berat kawan.

Bukan tentang harga cabai yang diributkan oleh para perempuan kita di rumah. Bukan tentang narapidana yang menyimpan uang dalam peti dan bebas pelesiran kesana kemari. Bukan juga tentang Bapak kita yang kalut dengan anak buahnya di istana sana. Tentu bukan juga tentang para elit yang sibuk mencari topeng baru.

Pagi yang bening. Lihatlah ke halaman. Embun-embun itu telah menguap pergi. Kicauan burung telah jauh menggema.

Mari kita bicara tentang sesuatu. Cinta. Cinta kini telah menjadi ornamen langka. Cinta telah lama menghilang dalam hari-hari. Tidakkah kau rasai yang sama? Mungkin dia ikut tenggelam bersamaan dengan telah matinya hati-hati manusia. Mungkin juga dia telah terbang karena rasa malu juga telah aus dari diri kita.

Tentu ini bukan tentang cinta yang dibicarakan oleh para ABG-ABG kita. Yang terjebak dalam cinta tak bernama. Yang tersaut dalam cinta nisbi. Bahkan cinta pun mereka nodai dengan memasrahkan harta berharganya. Bukan. Bukan itu, kawan.

Juga bukan cinta yang begitu palsu yang sering mondar-mandir di layar televisi kita. Mendadak mereka jadi pahlawan. Tiba-tiba mereka jadi penyayang. Air mata sintetis bermuram durja. Mendadak mereka jadi sosok penuh cinta. Menolong sesama. Tahulah kau untuk apa, demi rating dan agar disebut populer. Bukan, juga bukan yang ini kawan.

Cinta yang bening. Cinta yang putih. Cinta yang jauh dari kepura-puraan. Cobalah kau balik lembaran harimu. Carilah sosok yang telah mengejawantahkan cinta di hatimu. Memberi cinta seterang matahari. Membelai nuranimu dengan belaian sayang tak terbilang. Tentu tak sulit kau mencarinya. Tangan lembut yang telah meninggalkan sidik cinta di tubuhmu. Suara merdu yang membangunkan mu dari pagi mu yang payah. Ocehan-ocehan ketika kau beranjak bandel dan remaja. Yang mengomentari penampilanmu sejadi-jadinya. Ah, betapa manisnya saat-saat itu.

Atau ketika bagaimana paniknya dia saat engkau terbaring sakit. Merelakan tubuh tua nya kian kemari demi kesembuhanmu.

Dan tahukah engkau, ada namamu dalam setiap sujud panjangnya. Ada dirimu dalam tiap bait doa-doanya. Ada cinta tak putus-putus dalam tiap helaian nafasnya.

Tak usahlah ku sebut siapa dia. Mestinya semua orang belajar cinta darinya. Itulah cinta yang embun. Cinta yag sehangat pagi. Tidak memanggangmu namun melindungi mu dari gigilan itu. Itulah cinta yang semesta. Tak berhingga. Tak bisa kau hitung dengan logika matematika.

Mestinya para pembesar di negeri ini sejenak menemuinya. Mencari cinta di mata tua itu. Menemukan ketulusan tak bertopeng di sana. Kemudian, kembali mengurusi kita sepenuh cinta. Mestinya bangsa ini bisa menjadi sebesar negaranya, jika cara kita mencinta seperti dia mencinta kita.

Sudahlah, kawan. Penat juga jika kita hanya duduk-duduk di sini. Lihatlah, matahari semakin tinggi. Pagi telah ditelan dhuha. Saatnya kita beranjak pergi. Menjemput cinta. Membagi cinta. Cinta seperti dia. Cinta sebening embun. Cinta sehangat pagi.

Padang, 18 januari 2011

tentang kawan. tentang dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar