Senin, 14 Februari 2011

Ranah 3 Warna: Berwarnanya Buah Kesabaran

Huh...Akhirnya dengan susah payah saya selesaikan juga melahap novel rocommended ini. Baru kali ini rasanya saya menamatkan novel yang menurut saya bagus dalam jeda behari-hari. Tentu bukan karena cerita yang tidak menarik, tapi karena sesuati di luar sana yang nyaris merenggut hobi dan kesenangan saya. Hari-hari yang habis ditelan ragam kesibukan.

Bagi anda yang sudah membaca cerita 5 orang santri di Pondok Madani, tentu tak asing dengan sosok Alif Fikri. Tokoh sentral dalam cerita Negeri 5 Menara. Nah, tentu anda penasaran bagaimana liku-liku Alif setelah tamat dari PM? Novel kedua dari trilogi ini wajib anda baca: Ranah 3 Warna.

Setelah membaca novel ini, semangat saya benar-benar kembali menyala. Semangat untuk segera menyelesaikan pendidikan, semangat untuk menulis, semagat berkarya lebih,semangat melanglang buana keliling dunia dan tentu semangat untuk menemukan pasangan hidup. ehm...

Jika di seri pertama, kita dibakar oleh mantra sakti Man Jada wa Jadda, Siapa yang besungguh-sungguh, akan berhasil. Ternyata, mantra ini saja tidaklah cukup mejadi pelecut dan penawar untuk menggapai cita dan keinginan. Ada satu mantra lagi yang tak bisa dan tak mungkin dilupakan untuk menginjakkan kaki di puncak kesuksesan. Apakah dia?

Ya...Man shabra Zhafira. Siapa yang bersabar aka beruntung. Yup, sabar. Betapa sabar telah lama menguap dari hari-hari kita. Sabar tak lagi menjadi alat pengendali dari nafsu dan syahwat yang terus membabi buta. Sabar tak lagi menjadi senjata saat usaha telah disasarkan. Sabar tak lagi utuh sebagai mata tombak keberhasilan.

Dalam kisah ini, kita diajarkan tentang makna sabar lebih dalam. Bagaimana Alif harus kembali berjibaku dan berjuang maati-matian untuk mengikuti ujian persamaan dan mengikuti UMPTN. Padahal dia adalah lulusan PM yang hampir tak ada alumninya yang mengikuti UMPTN. Karena mata pelajarannya amatlah berbeda dengan SMA yang memang dipersiapkan ke PT.

Kita juga disuguhi bagaimana perjuangan Alif selama kuliah di Bandung. Ketika hidup harus menumpang dengan teman sekampung, berbagi sarapan, harus rela mengetik larut malam karena harus menunggu empunnya komputer tidur duluan, juga perjuangannya berjualan sana kemari, mengajar privat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di saat-saat sulit itu, Alif menyadar bahwa kesungguhan saja tidak cukup untuk melawan kerasnya hidup. Ada faktor lain yag juga teramat penting. Dan keluarlah mantra itu; sabar. Bersabarlah, maka kau akan beruntung. Bersabarlah, kau akan menuju kemenangan. Bersabarlah, Tuhan pasti bersamamu.

Jika boleh diambil perbandingan, dari segi cerita novel kedua anak Maninjau ini hampir mirip dengan Sang Pemimpi dan Edensor-nya Andrea Hirata. Tukang cerita ulung dari Belitong. Di sini, ketika mimpi-mimpi kita langitkan maka Langit pasti mendengar dan suatu waktu akan mengabulkannya. Untuk mereka yang bersungguh-sungguh dan bersabar. Ingat saat bersama sahibul menara, mereka menginterpretasikan awan senja di langit PM. Alif menginterpretasikan bahwa awan itu adalah Amerika, benua yang sangat ingin dijelajahinya.

Dan Tuhan benar-benar memeluk mimpi itu. Maka terbanglah Alif ke Yordania dan tentunya benua Indian; Amerika. Tepatnya di negeri maple; Kanada. Semua itu diraihnya juga-sekali lagi-berkat kesungguhan dan kessabaran yang berlipat-lipat. Dan kita akan dibawa Alif menjelajahi Quebec, Kanada. Sebuah provinsi yang unik di timur Kanada. Karena perbedaan budaya dan berbahasa Prancis, menjadikan Quebec ibarat sepotong Perancis di tengah Amerika. Dan disanalah Alif menjelajah. mempelajari keunggulan orang barat sambil memperkenalkan Indonesia dan tentunya Islam ke orang-orang Eropa.

Dan yang tak kalah menarik adalah gejolak jiwa muda si bocah kampung ini, apalagi kalau bukan: cinta anak remaja. Bagaimana dia menyimpan perasaan pada seorang gadis bening dan lincah. Bagaimana malunya dia untuk sekadar menyatakan suka, sampai penyesalan itu datang. Kita disuguhkan, bagaimana laki-laki seharusnya memperlakukan wanita dan bagaimana pandangan wanita tentang lelaki ideal yang akan menjad pendampingnya.

Overall, novel ini akan mengajak anda menyaruk lebih dalam dan menjelajahi 3 ranah yang berbeda warna itu. Memahami budayanya. Memahami sosiologi masyarakatnya. Menyusuri lekuk-lekuk eksotisnya. Mencari makna di setiap jengkalnya. Di sini kita makin disadarkan tentang persahabatan. Arti sahabat. Arti teman. Juga, yang tak kalah penting bagaimana besarnya peran orang tua dalam setiap kesuksesan yang diraih. Doa mereka dalam setiap sujudnya adalah faktor penting dari semua kesuksesan.

Rasanya tidak cukuplah catatan ini menceritakan semuanya. Saran saya, lekas beli dan langsung baca. Jangan minjam hhehhee....

Sampai jumpa di tanah impian masing-masing...

Senin, 31 Januari 2011

Bening Embun dan Hangatnya Pagi


Pagi yang bening. Ketika gerombolan burung-burung baru akan memulai tasbinhya. Saat dedaunan akan mengakhiri tetes embun di ujung kuncupnya. Dan ketika sebagian dari mereka masih setia dengan selimut panjangnya. Kembali menggulung badan dan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Sedangkan matahari telah beranjak tinggi. Memanggang bumi. Melanjutkan titah Tuhannya. Membagi cinta pada maya pada.

Sejenak, kawan. Duduklah di sini. Kita nikmati alunan pagi. Bersama setangkup syukur dan cinta yang kita bagi.

Sebentar, teman. Bergabunglah kemari. Mari kita lupakan dunia. Sekedar bercakap-cakap. Tak usah yang berat-berat kawan.

Bukan tentang harga cabai yang diributkan oleh para perempuan kita di rumah. Bukan tentang narapidana yang menyimpan uang dalam peti dan bebas pelesiran kesana kemari. Bukan juga tentang Bapak kita yang kalut dengan anak buahnya di istana sana. Tentu bukan juga tentang para elit yang sibuk mencari topeng baru.

Pagi yang bening. Lihatlah ke halaman. Embun-embun itu telah menguap pergi. Kicauan burung telah jauh menggema.

Mari kita bicara tentang sesuatu. Cinta. Cinta kini telah menjadi ornamen langka. Cinta telah lama menghilang dalam hari-hari. Tidakkah kau rasai yang sama? Mungkin dia ikut tenggelam bersamaan dengan telah matinya hati-hati manusia. Mungkin juga dia telah terbang karena rasa malu juga telah aus dari diri kita.

Tentu ini bukan tentang cinta yang dibicarakan oleh para ABG-ABG kita. Yang terjebak dalam cinta tak bernama. Yang tersaut dalam cinta nisbi. Bahkan cinta pun mereka nodai dengan memasrahkan harta berharganya. Bukan. Bukan itu, kawan.

Juga bukan cinta yang begitu palsu yang sering mondar-mandir di layar televisi kita. Mendadak mereka jadi pahlawan. Tiba-tiba mereka jadi penyayang. Air mata sintetis bermuram durja. Mendadak mereka jadi sosok penuh cinta. Menolong sesama. Tahulah kau untuk apa, demi rating dan agar disebut populer. Bukan, juga bukan yang ini kawan.

Cinta yang bening. Cinta yang putih. Cinta yang jauh dari kepura-puraan. Cobalah kau balik lembaran harimu. Carilah sosok yang telah mengejawantahkan cinta di hatimu. Memberi cinta seterang matahari. Membelai nuranimu dengan belaian sayang tak terbilang. Tentu tak sulit kau mencarinya. Tangan lembut yang telah meninggalkan sidik cinta di tubuhmu. Suara merdu yang membangunkan mu dari pagi mu yang payah. Ocehan-ocehan ketika kau beranjak bandel dan remaja. Yang mengomentari penampilanmu sejadi-jadinya. Ah, betapa manisnya saat-saat itu.

Atau ketika bagaimana paniknya dia saat engkau terbaring sakit. Merelakan tubuh tua nya kian kemari demi kesembuhanmu.

Dan tahukah engkau, ada namamu dalam setiap sujud panjangnya. Ada dirimu dalam tiap bait doa-doanya. Ada cinta tak putus-putus dalam tiap helaian nafasnya.

Tak usahlah ku sebut siapa dia. Mestinya semua orang belajar cinta darinya. Itulah cinta yang embun. Cinta yag sehangat pagi. Tidak memanggangmu namun melindungi mu dari gigilan itu. Itulah cinta yang semesta. Tak berhingga. Tak bisa kau hitung dengan logika matematika.

Mestinya para pembesar di negeri ini sejenak menemuinya. Mencari cinta di mata tua itu. Menemukan ketulusan tak bertopeng di sana. Kemudian, kembali mengurusi kita sepenuh cinta. Mestinya bangsa ini bisa menjadi sebesar negaranya, jika cara kita mencinta seperti dia mencinta kita.

Sudahlah, kawan. Penat juga jika kita hanya duduk-duduk di sini. Lihatlah, matahari semakin tinggi. Pagi telah ditelan dhuha. Saatnya kita beranjak pergi. Menjemput cinta. Membagi cinta. Cinta seperti dia. Cinta sebening embun. Cinta sehangat pagi.

Padang, 18 januari 2011

tentang kawan. tentang dia.

Senin, 26 April 2010

Obral Murah Sebuah Kehormatan

1
Mereka bertiga. Datang pada saat jam mau pulang kerja. Mereka bertiga. Dengan wajah malu-malu memasuki ruang kerja. Salah seorang dari mereka berpakaian biasa. Dua teman yang mengapitnya berseragam SMA.
"Ada apa?"
'Mmh..Eng..eng..'
"Ada yang bisa dibantu?"
'Engg..ngg...kami...kami..
eh,teman saya ini...mau...mau...engg'
"Mau apa?"
'Dia mau suntik Catin.!'
"Suntik catin?"
Yang di tengah mengangguk.
"Masih sekolah?"
'Masih. Eh,tapi nggak lagi sekarang.'
"Umurnya berapa?"
'17'
"Calon suaminya mana?"
'Mmh..bawa angkot,Pak..'
"Kenapa buru-buru?"
Yang di tengah hanya diam. Mukanya merah. Sesekali menyikut temannya di kiri kanan. Lantas,menunduk.
Dia telah merenggutmu..! Kau telah kehilangan barang berhargamu, dik...Tak menyesalkah engkau?

2
Mereka berdua. Sepasang anak manusia. Laki. Perempuan. Datang di awal pagi.
'Mau minta Surat Keterangan Catin,Pak. Tapi..'
"Tapi apa?"
'Tapi gak disuntik.'
"Kok?"
Si laki hanya tersenyum miring. Perempuan senyum dikulum.
"Kenapa? Kalo mau nikah,harus disuntik. Baru dikasih suratnya"
'Mmh..eng..eng..Pokoknya gak bisa disuntik,Pak.'
"Takut disuntik?"
Kali ini mereka cengengesan. Saling pandang. Kemudian, si laki berbisik,
'Dia udah berisi,Pak'
What??
"Berapa minggu?"
'1 bulan.'
Gila.."Umurnya berapa?"
'Saya 21. Dia 19'
"Udah kerja?"
'Belum.'
"Kenapa? Udah gak tahan?"
Mereka senyam-senyum saja. Malah cengengesan. Tidak ada rasa bersalah.
Kalian melakukannya. Dan sekarang datang dengan tanpa wajah dosa. Apakah orang tua kalian tidak marah?

3
Di awal malam. Dua orang anak muda mengetuk pintu.
'Berobat,Pak'
"Ayo. Silakan masuk."
'Eng..ngg..', salah seorang juga agak gagap memulai bicara.
"Apa yang sakit."
Setengah berbisik,cowok itu mengeluarkan suara.
'Anu saya bernanah.'
"Coba lihat"
Parah.!
"Udah sering? Berapa kali?"
'Mmh..sering,Pak'
"Sama siapa?"
'Ganti-ganti'
MasyaAllah...Saya tak mampu bercakap. Ingin rasanya memberi anak baru gede ini pembelajaran. Tidak usah saja diberi obat. Biar dia merasakan perihnya. Sakitnya. Tapi,sisi lain di hati saya juga bicara. Kasih sajalah obat. Nasehati dia.
"Obatnya cuma satu."
'Apa?'
"Jangan dibuat lagi. Hentikan. Kalau tidak, penyakit ini akan menyebabkan kematian!"
Berbohong untuk kebaikan. Dibolehkan bukan?

4
Aku merenung. Termenung. Memikirkan. Sesuatu yang menurutku begitu agung.

Inilah dunia. Di sini bukan kota. Di sini hanyalah daerah yang mulai latah dengan kemajuan. Mereka hidup di tengah-tengan banyak manusia beriman. Tapi hidup bebas layaknya manusia tak bertuhan. Begitu mudahnya mereka melakukan perbuatan yang mampu membuat Arsy Tuhan bergetar. Membuat mereka dikutuk oleh seisi penduduk langit. Di sini. Di Minang nan tacinto. Di ribuan masjid berdiri. Di ratusan pengkotbah di mimbar berdiri. Di sini. Di negeri yang telah hilang. Kehilangan kehormatannya.

Dan aku hanya bisa merutuk. Mengutuk. Belum mampu tuk sekadar mengetuk. Mengetuk pintu-pintu kesadaran itu.

Cinta Nan Mengalah (Fragmen #1)

Mengalah tidak berarti kalah. Mengalah hanyalah seperti memberikan kesempatan terbaik untuk orang lain. Mungkin teman,sahabat,saudara,atau
bahkan orang yang tidak senang pada kita sekalipun. Mengalah,bagi sebagian orang adalah sebuah kebodohan. Bentuk lain dari ketidak berdayaan. Bagi sebagian lain,mungkin seperti sebuah ladang. Mengalah ibarat benih yang disemai. Nanti pasti kan memetik manisnya..

Tapi,entahlah bagiku..

Hidupku dipenuhi dengan kosakata itu. Aku tidak tahu apakah itu sebuah kemuliaan atau kah sebentuk ketololan. Kata seorang teman, itu tergantung untuk siapa,dalam hal apa dan kenapa engkau mengalah? Seandainya dirimu mengalah untuk sebuah kebaikan,keselamatan orang lain,tentu mengalah adalah pilihan. Namun,jika itu menyebabkan kecelakaan untukmu,tentu itu bukanlah putusan bijak.

Apakah juga dalam hal yang bernama CINTA?

Hahay..itu dia kawan..! Dan kaupun tidak bisa bersuara,ketika ku sodorkan pertanyaan itu?

Aku bukan pemain cinta. Pun tidak punya pengalaman memikat keturunan hawa. Apatah lagi mengajak dia jalan, makan di restoran ditemani purnama dan akhirnya setangkai mawar mengakhiri malam. Tidak. Tentu tidak kawan. Karena bagiku, itu hanya layak kupersembahkan untuk istriku kelak.

Lantas, kau bertanya lagi.
'Mengalah dalam cinta yang kau maksud seperti apa?'

Begini. Ketika hatimu terpikat pada satu sosok lemah lembut. Dan diapun memenuhi kriteria ke empat yang disebutkan Baginda Nabi. Namun, kecintaanmu pada Sang Pemilik masih di atas segalanya, kau pun tidak bisa melakukan yang dilarangNya.

Sementara hatimu benar-benar tertawan olehnya. Jiwamu naik turun hanya ketika melihat ujung kerudungnya. Matamu tertunduk malu ketika bersitatap mata indahnya. Ujung ekstremitasmu berkeringat dan mengejang saat dia ada di dekatmu. Jantungmu berdegap tak lagi sinus ketika dia mengucap assalamualaikum. Dan lidahmu kelu untuk sekadar membalas sapa.

Kata apa yang tepat menggambarkan itu, kawan? Tahulah kau itu apa namanya.!

Namun, kau hanya bisa memendamnya. Kau disiksa rasa. Kau dirajam rindu. Kau dirantai cinta. Hatimu telah tergoda. Kelelakianmu terusik.

Kau malu mengungkapkannya.Kau segan mengutarakannya.Karena kau ingin mengatakan, hanya ketika kau telah halal baginya. Diapun telah halal bagimu.

Dan kau hanya memendamnya, karena kau takut melanggar titahNya.
Aih, kau telah tertawan pesonanya...

'Mencintai dalam diam', itulah dirimu.
Kau hanya bisa mencintai dalam hati. Dalam jarak tak berangka. Puluhan bait telah kau tulis. Sajak-sajak telah kau siapkan. Yang akan kau persembahkan nanti di hari pertama kalian. Ribuan bintang telah kau namai dengan namanya,untuk nanti kau pungut dan kau letakkan di jantung hatinya.

Indahnya kawan. Romantisnya dirimu. Aku belum tentu bisa.

Waktu berjalan.

Senja itu. Matamu sayu. Wajahmu tertunduk. Kau menangis,kawan? Ada apa?

Ahh, cinta. Kau melepasnya. Kau membiarkannya berlabuh di dermaga lain. Kau bukan kumbangnya,kini. Untuk sebuah persahabatan,katamu. Ketika sahabatmu meminta jodoh, kau pun menyodorkan namanya!

Aku tak tahu menyebutmu apa! Bodoh? Pecundang? Atau pahlawan? Bertahun kau merajut mimpi. Sedetik kau menghancurkannya. Demi sebuah persahabatan,katamu?

Aku tahu,kawan. Hatimu menangis. Jiwamu tergoncang. Matamu menyiratkan itu. Tingkahmu menafsirkan itu. Kau tak bisa mendustai hatimu.

Dan kau hanya mampu berkata:
'dia bukan jodohku'

Ya,karena kau tidak memperjuangkannya!

Ah,mengalah dalam cinta...

Aku tak tahu,bijakkah itu..?


Fragmen cinta #1
(untuk seorang teman. Maafkan aku. Doakan aku. Kau kini telah menemukan yang lebih baik. Mengalah bagimu adalah semai benih di ladang cinta. Dan kini kau menemukan manisnya)